
Wacana pelarangan wisuda sekolah di Cilacap muncul ketika Bupati Syamsul Aulia Rachman mengeluarkan imbauan tegas agar jenjang PAUD/TK, SD, dan SMP tidak menyelenggarakan acara wisuda atau perpisahan kelulusan. Kebijakan ini didasari kekhawatiran beban biaya pendidikan bagi orang tua dan pertimbangan nilai esensial pendidikan. Menurut Bupati, kegiatan wisuda di sekolah-sekolah “tidak ada urgensinya” dan justru “membuat beban finansial bagi orang tua” sekaligus menimbulkan kesenjangan sosial. Kebijakan ini juga dikaitkan dengan insiden tawuran pelajar usai acara perpisahan, sehingga pemerintah daerah ingin menciptakan suasana pendidikan yang lebih kondusif. Surat Edaran Disdik Cilacap Nomor 400.3.5/734/15 (2 Mei 2025) menegaskan wisuda tidak wajib dan tidak boleh memungut iuran besar, selaras dengan arahan Kemendikbudristek yang mengimbau kegiatan wisuda hanya untuk perguruan tinggi
Latar Belakang dan Alasan Kebijakan
Kebijakan larangan wisuda sekolah di Cilacap dilatarbelakangi oleh beberapa faktor penting:
Beban Biaya Pendidikan: Kepala daerah memandang biaya togawi, sewa gedung, dokumentasi, dan atribut wisuda menimbulkan beban berat bagi orang tua, bahkan memicu pungutan liar. Bupati Syamsul menilai wisuda “cenderung pemborosan” dan membebani masyarakat
Esensi Pendidikan: Wisuda sekolah dianggap tidak berpengaruh signifikan terhadap proses belajar-mengajar. Dinas Pendidikan Cilacap menegaskan bahwa secara regulasi wisuda hanya berlaku di perguruan tinggi, sehingga tidak ada keharusan menyelenggarakannya di tingkat TK–SMA. Fokus diharapkan lebih pada kelanjutan pendidikan dan pembinaan karakter, bukan seremoni kelulusan berbiaya besar.
Keamanan dan Disiplin: Insiden tawuran pelajar pasca-perpisahan menjadi pemicu langsung kebijakan ini. Bupati Syamsul ingin menghindari konflik dan permasalahan sosial yang timbul dari acara wisuda yang berlebihan
Inpres dan Regulasi Nasional: Kebijakan pusat juga mendukung langkah ini. SE Kemendikbudristek No.14/2023 (13 Juni 2023) mengimbau wisuda tidak wajib dan tidak membebani orang tua. Kepala Dinas Pendidikan menyebut pelarangan ini menindaklanjuti Instruksi Presiden (Inpres) RI No.1/2023 tentang efisiensi anggaran, menegaskan sekolah tidak perlu mengadakan wisuda mewah.
Bupati Syamsul mengajak lembaga pendidikan dan legislatif daerah untuk mensinergikan perhatian pada pendidikan esensial. Ia menegaskan, “Kami ingin orang tua memprioritaskan biaya untuk kebutuhan pendidikan anak, bukan untuk acara seremonial”. Sekolah yang tetap memaksakan wisuda meski sudah diimbau, terutama di jenjang SD dan SMP, diancam sanksi tegas. Surat Edaran Disdik menekankan bahwa jika wisuda tetap ada, maka harus sederhana, nonwajib, dan bebas pungutan.
Respons Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat
Respons terhadap kebijakan ini beragam. Secara umum, sebagian besar wali murid menyambut positif karena terbebas dari beban biaya tambahan. Data liputan media menunjukkan banyak orang tua merasa selama ini terganggu oleh iuran wisuda yang meningkat setiap tahun. Di Cilacap sendiri, Dinas Pendidikan mencatat sebagian orang tua justru mendukung himbauan agar kegiatan tersebut tidak menjadi kewajiban.
Sebaliknya, terdapat kelompok yang menilai acara perpisahan memberi kenangan manis bagi anak, meski Sekolah menegaskan cukup sederhana jika dilaksanakan. Para guru dan kepala sekolah umumnya mematuhi imbauan, menyesuaikan program kelulusan dengan kegiatan yang lebih sederhana. Kepala Disdik Luhur Satrio berharap sekolah lebih menekankan nilai kebersamaan dan penghargaan atas prestasi daripada pesta perpisahan heboh. Ia mengimbau agar kenang-kenangan berupa hadiah atau sumbangan dihapuskan, karena tradisi tersebut hanya membebani wali murid.
Analisis akademisi menunjukkan bahwa tidak semua pihak menolak seremonial. Psikolog perkembangan UGM, T. Novi Poespita Candra, mencatat bahwa wisuda sejatinya dapat menjadi momen refleksi dan motivasi anak serta orang tua menyongsong jenjang berikutnya. Novi menekankan pentingnya edukasi makna wisuda—bahwa ini adalah ungkapan syukur dan evaluasi tumbuh kembang, bukan ajang pamer gaya hidup berlebihan. Menurut Menteri Pendidikan Abdul Mu’ti, acara wisuda di sekolah diperbolehkan asalkan disetujui orang tua dan “tidak memberatkan”. Ia menilai wisuda dapat mempererat kedekatan sekolah dan orang tua, walau menegaskan jangan berlebihan.
Implikasi Sosial, Pendidikan, dan Psikologis
Pelarangan wisuda sekolah membawa implikasi positif dan negatif:
Sosial (keadilan sosial): Dari sisi keadilan sosial, kebijakan ini meringankan beban ekonomi masyarakat kurang mampu. Tanpa acara mahal, risiko pamer kekayaan dan kesenjangan antar siswa berkurang. Dengan biaya wisuda dialihkan ke kebutuhan belajar, diharapkan sumber daya keluarga dialokasikan untuk pendidikan anak. Namun, tanpa perpisahan formal, ada kekhawatiran hilangnya simbol pencapaian bersama siswa seangkatan, yang berfungsi mengikat komunitas sekolah secara emosional. Jika tidak dikompensasi dengan acara lain, anak-anak mungkin merindukan momen selebrasi atas usaha mereka.
Pendidikan (esensi pembelajaran): Dampak positifnya, guru dan siswa dapat memfokuskan waktu untuk persiapan pembelajaran lanjutan, misalnya orientasi ke jenjang berikutnya, tanpa teralihkan ke persiapan pesta wisuda. Kurikulum dan pembinaan karakter jadi prioritas utama. Di sisi lain, perpisahan kelas (simple) sebenarnya bisa menjadi upaya motivasi dan penguatan ikatan sekolah, yang jika dihilangkan sepenuhnya berpotensi mengurangi nilai-nilai kolektif dalam pendidikan dasar. Seorang psikolog pendidikan mencatat bahwa wisuda bisa menjadi momen para siswa merasa bangga dan didukung oleh keluarga. Tanpa acara formal, sekolah perlu mencari cara lain untuk memberikan pengakuan atas capaian siswa agar mereka tetap terinspirasi.
Psikologis siswa dan orang tua: Bagi siswa kurang mampu, ketiadaan wisuda mewah menghilangkan tekanan sosial dan rasa malu jika keluarga tak mampu menyumbang banyak. Ini berdampak positif pada kesehatan mental mereka dan mengurangi kecemasan finansial orang tua. Namun bagi siswa berprestasi, momen perpisahan sering menjadi kenangan indah yang membangkitkan rasa percaya diri. Bupati sendiri mengajak fokus persiapan akademis “daripada seremoni yang seremonial”. Penting diakui bahwa keseimbangan diperlukan: meredam ekses tetapi tetap memberi penghargaan simbolis. Penulis menekankan aspek refleksi dan transisi psikologis di masa pindah jenjang pendidikan, sehingga anak didorong memandang kelulusan sebagai tonggak perkembangan, bukan semata objek kontroversi.
Kebijakan Serupa di Daerah Lain
Larangan atau pembatasan wisuda sekolah bukan fenomena unik Cilacap. Beberapa pemerintah daerah telah menerapkan kebijakan sejenis untuk jenjang pendidikan dasar:
Kota Kediri (Jawa Timur): Wali Kota Vinanda Prameswati melarang PAUD hingga SMP menggelar wisuda, menindaklanjuti keluhan wali murid soal iuran mahal. SE Disdik Kota Kediri menegaskan kelulusan harus jadi momen “membawa kebahagiaan tanpa memberatkan pihak manapun”. Ia bahkan melarang penggunaan istilah wisuda dan atribut seperti toga atau medali dalam perpisahan.
Kota Batam (Kepri): Disdik Batam mengeluarkan SE larangan wisuda di sekolah, dengan syarat jika perpisahan diadakan maka “tidak wajib” dan biaya tidak boleh membebani orang tua, terutama keluarga kurang mampu.
Kota Mataram (NTB): Pemkot Mataram melarang wisuda mewah di luar sekolah seperti di hotel. Kepala Disdik Mataram menegaskan wisuda harus disesuaikan kesepakatan orang tua dan dibuat sederhana, tanpa kegiatan berlebihan di luar lingkungan sekolah.
Kota Solok (Sumbar): Wali Kota Solok melarang wisuda di semua jenjang (TK–SMA) baik negeri maupun swasta, dengan alasan pembelajaran bersifat kontinu. Ia menuturkan tidak akan ada wisuda lagi karena proses belajar masih berlanjut.
Provinsi DKI Jakarta: Plt. Kadisdik DKI mengeluarkan SE yang melarang menjadikan wisuda wajib dan tidak membebani orang tua, serta menindaklanjuti SE Kemendikbudristek No.14/2023.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (Kang Dedi) sempat menjadi pelopor larangan wisuda di tingkat sekolah, dengan alasan memihak rakyat kurang mampu. Rangkaian kebijakan ini mencerminkan kesadaran nasional bahwa konsep perpisahan siswa perlu disesuaikan dengan keadilan sosial.
Pro dan Kontra Kebijakan Larangan Wisuda
Berikut beberapa argumen pro dan kontra terkait larangan wisuda sekolah, berdasarkan prinsip keadilan sosial dan efektivitas publik:
Pro (Dukungan kebijakan):
Keadilan Ekonomi: Mengurangi beban biaya tidak wajar bagi keluarga, terutama dari latar ekonomi lemah. Kesenjangan sosial akibat pesta wisuda bisa berkurang.
Fokus Pendidikan: Sumber daya (waktu dan uang) dialihkan ke pendidikan esensial dan persiapan akademik, bukan seremoni. Anak diarahkan ke pengembangan karakter dan kesiapan akademik selanjutnya.
Efektivitas Kebijakan Publik: Langkah tegas pemerintah daerah dan edukasi bersama legislatif menciptakan standar yang jelas, mencegah praktik pungutan liar di sekolah. Kebijakan konsisten dengan kebijakan nasional (Inpres SE) memudahkan koordinasi dan penegakan.
Kontra (Penolakan kebijakan):
Hak Budaya dan Psikologis: Bagi sebagian orang, wisuda/perpisahan merupakan hak simbolis siswa atas prestasi pendidikan dasar. Pelarangan total bisa dianggap menghilangkan kenangan penting (perasaan bangga, kebersamaan) bagi anak-anak.
Intervensi Pemerintah: Beberapa pihak menilai ini sebagai campur tangan berlebihan terhadap tradisi sekolah. Mereka khawatir kegiatan perpisahan akan dilakukan dengan nama lain dan bisa tetap mewah tanpa sebutan “wisuda” jika kebijakan bersifat larangan keras saja.
Resiko Praktis: Bila aturan terlalu ketat tanpa alternatif positif, siswa bisa kehilangan motivasi atau sekolah enggan mengadakan acara sama sekali, padahal komunikasi orang tua-sekolah (seperti pesan kebijakan di masa depan) tetap dibutuhkan.
Prinsip keadilan sosial mendorong penghapusan praktik membebani biaya tidak proporsional, namun pemerintah juga ditantang merumuskan alternatif positif agar nilai kebersamaan dan penghargaan atas prestasi tidak hilang begitu saja. Kebijakan publik diharapkan didasarkan pada data dan dievaluasi secara berkala untuk melihat dampaknya pada kualitas pendidikan dan kesejahteraan keluarga.
Kesimpulan
Larangan wisuda sekolah di Cilacap mencerminkan upaya pemerintah daerah mengedepankan keadilan sosial dalam pendidikan dasar. Kebijakan ini secara tegas menyasar beban biaya pendidikan yang selama ini ditanggung keluarga agar anggaran rumah tangga lebih difokuskan untuk kebutuhan belajar anak.
Dari sisi positif, langkah tersebut dapat mereduksi praktik pemborosan dan menutup celah kesenjangan ekonomi di dunia pendidikan. Namun, kontroversi muncul karena tradisi perpisahan juga memiliki nilai psikologis dan budaya yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Penghapusan wisuda mesti disertai pemahaman bersama tentang maknanya, agar anak-anak tetap merasa dihargai atas pencapaian mereka. Secara nasional, larangan ini sejalan dengan arahan Kemendikbudristek dan beberapa daerah lain (misalnya Batam, Mataram, Kediri) yang memperketat aturan wisuda sekolah.
Ke depan, pemerintah daerah perlu mengevaluasi dampak kebijakan ini: apakah benar membuat sistem pembelajaran lebih egaliter tanpa mengorbankan semangat siswa. Pendekatan yang seimbang bisa dengan memberikan ruang untuk acara kelulusan sederhana dengan prinsip kehati-hatian, selaras anjuran Mendikdasmen agar tiap perayaan anak difokuskan pada rasa syukur dan motivasi melanjutkan pendidikan. Dengan demikian, kebijakan tersebut dapat ditegakkan secara efektif sekaligus tetap menghormati nilai-nilai sosial dan psikologis dalam dunia pendidikan dasar.
Sumber: Berbagai laporan media dan pernyataan resmi, termasuk liputan Portal Purwokerto, Radar Banyumas, SerayuNews, detik.com, serta analisis pakar pendidikan dari UGM